“Keajaiban Di Gua Maria Pajar Mataram”

Kamis, 25 Februari 2010..
Kami menginjak umur 15 tahun dimana kami tepat kelas 3 SMP saat itu. Nama ku Fransiskus Armanto, teman-temanku memanggilku Arman. aku memiliki beberapa sahabat karib semasa SMP dulu. Mereka yaitu Fransiska Delis, Vincencia Rita, Ignasius Andrian, Ignasius Sudari, Hendrikus Ferdi, dan Hendrikus N. Mereka akrab disapa Delis, Rita, Andrian, Ndari, Hendrik, dan Nung. Rumah kami berdekatan kecuali Ndari, Hendrik dan Nung. Mereka beda lingkungan dengan kami. Kebetulan kami akan menghadapi ujian nasional untuk tingkat SMP. Kami sepakat untuk mengadakan Doa Novena 3 Salam Maria di Gua Maria Pajar Mataram yaitu paroki dimana kami tinggal. Selama sebulan penuh kami bertekat untuk berdoa dan belajar bersama setelah doa selesai. Minggu pertama memang pada aktif semuanya, kemudian minggu berikutnya semakin berkurang. Tapi itu semua tidak menyurutkan semangat kami. Sahabatku yang paling dekat yaitu  Delis, Rita dan Andrian, karena rumah mereka memang dekat dengan rumahku. Tetapi Andrian ini yang memang susah untuk diajak berdoa, aku sih gak tau kenapa dia susah untuk berdoa. Tapi Rita dan Delis lah yang menyemangatiku untuk selalu berdoa. Berdoa menjadi kebiasaan baik untuk kami, sampai pada akhirnya aku suka dengan sahabatku sendiri, tapi sampai saat ini aku kuliah semester 7, masih belum berani untuk mengungkapkan rasa suka itu. Karena bagiku menghargai persahabatan dari kecil itu sangat penting daripada rasa suka itu.
Diantara kami berenam, Ndari memang yang paling tua, sedangkan aku tertua setelah nya. Dan yang paling muda adalah Rita, dia setengah tahun lebih muda dariku. Tetapi yang paling bijak diantara kami yaitu Delis, dia memang mempunyai bakat dan iman yang kuat karena dia adalah ketua OMK lingkunganku saat itu. Dia berambisi jadi biarawati saat itu begitu juga aku, aku sangat berambisi untuk menjadi seorang Romo. Tapi setelah aku kuliah itu menjadi impian semata, ternyata aku lebih mencintai seorang wanita dari pada harus menjadi gembala Tuhan.
Lalu hingga minggu ketiga, yang bertahan untuk tetap berdoa hanya kami bertiga, yaitu aku, Rita dan Delis. Yahh,, walau kadang-kadang mereka juga dateng sih. Hari kamis,tepat sekali seminggu sebelum kami melaksanakan ujian nasional saat itu, kami bertiga berniat untuk berdoa  ovena di gua maria. Memang kami terkesan ilegal masuk gua maria, karena kami loncat pagar karena tidak mempunyai kunci gerbang gua maria. Tapi itulah perjuangan yang sebenernya kami lakukan untuk Bunda Maria.
Saat itu aku menunggu Rita dan Delis ditempat biasa ngumpul.
“kemana sih anak-anak yang lain?”.
“kok mereka gak pernah dateng lagi?” tanyaku kepada dua gadis itu.
“Ahh.. Gak tau tuh, mungkin mereka udah bosen kali!” jawab Rita agak sinis.
“Mungkin mereka sudah berdoa dirumah masing-masing, atau mereka sudah terlalu sore untuk dateng kesini.” Delis menyela bijak.
“Ya udah yuk kita berangkat udah sore juga ini, biarlah bertiga gak papa, kan niat kita berdoa” celetukku.
Waktu memang sudah menunjukan pukul 17.15, kami terlambat karena budaya saling tunggu-menunggu. Memang menjadi sangat terlambat dari jadwal biasanya yaitu pukul 16.30, tetapi ya sudahlah, kami berangkat juga walau bertiga. Jarak yang cukup jauh dari rumah kami ke gua maria, sekitar 20 menit jalan kaki untuk sampai di gua maria. Tetapi itu tidak menyurutkan semangat kami untuk berdoa di gua maria.
Diperjalanan ke gua maria kami bercerita cita-cita kami saat dewasa. Memang kenyataannya sekarang kami mengambil kuliah berbeda dengan yang dicita-citakan sebelumnya. Dengan nada santai Delis membuka obrolan kami.
“Mbak Rita, besok setelah ini mau lanjut SMA dimana?”.
“Aku mau lanjut di sekolah dekat rumah aja dek Delis. Kalo kamu dek?”.
“Sama aja mbak, nanti pas daftar kita bareng ya?”.
“iya deh nanti kita urusin berkasnya bareng-bareng”.
“kalo kamu Man mau SMA dimana?” tanya Rita kepadaku.
“Aku belum kepikiran Rit, mungkin sama kayak kalian”.
“biarin Tuhan yang mengatur deh”.
Delis dan Rita memang masih saudara, mereka cukup dekat dan ditambah lagi mereka sama-sama perempuan, sudah saling memahami tentunya. Aku cukup salut dengan persahabatan mereka. Mereka bersama-sama menjadi siwa berprestasi dalam bernyanyi. Memang talenta yang diberikan Tuhan kepada kami cukup nyata. Suara Delis dan Rita menjadi apik saat dipadukan. Delis yang memiliki suara Alto sedangkan rita memiliki suara Sopran. Mereka mendapatkan juara 1 tingkat kabupaten dan juara 2 tingkat provinsi dalam lomba paduan suara tingkat SMP seLampung. Sedangkan aku lebih suka ilmu sains daripada bernyanyi. Tapi tetap bersyukur memiliki sahabat yang multytalenta seperti mereka.
Kami sudah cukup jauh melangkah meninggalkan desa, memang lokasi Gua Maria Pajar Mataram ditengah persawahan. Hamparan padi yang hijau membuat sejuk suasana sore persawahan. Daun padi melambai-lambai terhempas angin yang mengijinkan kami untuk masuk gua maria.  Sungguh Agung Tuhan Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta. Aku menghirup dalam-dalam udara segar ini, suasana yang akan kurindukan suatu saat nanti. Aku melihat kedua sahabatku menikmati suasana ini. Mereka begitu cantik sampai aku benar-benar sadar, aku jatuh hati pada salah satunya. Aku memandangi gadis itu, tak sadar dia melihatku juga memandanginya. Kami sama-sama tersipu malu walau hanya berdua saja yang tau.
Ada hal yang tak bisa ku ungkapkan waktu itu, mungkin Tuhan tau siapa yang kumaksud itu.
“Semoga kelak kita tidak lupa satu sama lain..”.
“kita punya cerita besok untuk anak-anak kita” kataku entah dari mana.
“yaa,, semoga saja, kita akan menjadi sahabat sejati” jawab Delis anggun sekali.
“Kamu tau arti persahabatan itu apa?” tanyaku kepada mereka.
“Persahabatan itu ikatan cinta kasih dan ikatan emosi kepada seseorang atau lebih yang saling seimbang” tungkas Rita.
“Persahabatan itu seperti air, menguap lalu menjadi hujan yang menumbuhkan, cinta kasih dan pengertian lah yang ditumbuhkan” jelasku.
“Bagiku, persahabatan itu ikatan batin antara Tuhan, kita, dan sesama. Karena persahabatan jauh lebih indah dari pelangi, lebih mahal dari emas, dan lebih nyaman dari pada pacar” jelas Delis.
“ahh,,,masih kecil udah mikir pacar aja kan kan”
“gak papa lah Man, kita kan udah besar.. Lagian gak ada salahnya kalo sebelum jadi suster kita pacaran dulu” jawab Delis sambil tertawa santai.
“yuk buruan jalannya,, ini udah mulai gelap loh”
“iya iya Rit”
Suasana memang sudah berubah karena mendung yang datang dengan cepat. Awan hitam ini menyebar dengan cepatnya sehingga hari terasa sudah malam sekali. Disini lah semuanya berawal. Awal dari kejadian hebat yang pernah aku lalui bersama mereka sahabatku. Langit yang sebelumnya menyajikan pemandangan yang sangat indah, berubah menjadi gelap yang siap menjebakmu ditengah-tengah sawah. Sekitar 20 meter lagi kami sampai di gua maria. Pepohonan yang menutupi gua maria pun terlihat luas dimata kami. Diantara petakan sawah terdapat gardu kecil yang digunakan warga untuk berteduh dari sengatan panas saat mereka bekerja disawah. Disamping gardu itu ada pohon besar yang menaunginya agar membuat udara dibawahnya menjadi sejuk. Kesalahannya kenapa pohon ini hanya satu? Tak heran pohon ini sering tersambar petir saat hujan tiba. Gardu ini menjadi tempat berteduh yang nyaman saat siang panas, tetapi tempat berbahaya dikala hujan. Kami bertiga sempat berdiskusi mengenai hal ini, mau lanjut berdoa apa pulang karena hujan yang akan segera turun.
“Kita pulang aja yuk!?”
“Iya yuk pulang aja man, bentar lagi hujan” ajak Delis dan Rita gelisah.
“Nanggung tau, ini udah mau sampe gua maria, tuh udah didepan kita kan guanya”
“Gimana kalau kita berdoa Bapa Kami dan Salam Maria 3x, setelah itu kita pulang” Usulku kepada mereka.
“Ya udah yuk Mbak Rita kita berdoa Bapa Kami dan Salam Maria 3x”
“Ya udah ayo buruan, Nanti keburu hujan”
Akhirnya kami memutuskan untuk berdoa 1x Bapa Kami dan 3x Salam Maria. Dari pada tidak jadi sama sekali, setidaknya kita sudah menyapa Bunda Maria sore ini. Lalu kita sudah sampai didepan pintu masuk Gua Maria. Karena terkunci, seperti biasanya kami melompat pagar gua maria dari samping pintu masuk.
Sesudah masuk dilingkungan gua, aku melihat sosok perempuan berbaju putih duduk dilantai pendopo atas. Aku tidak menceritakan hal ini kepada kedua sahabatku, karena aku takut mereka berdua juga takut dengan sosok itu. Lalu kami bertiga turun kebawah ditempat biasa kami berdoa. Sesudahnya sampai, kami menyiapkan berlengklapan yang kami bawa. Kebetulan digua maria disediakan tikar untuk umum. Jadi kami hanya menyiapkan lilin untuk berdoa. Kami memang sudah membawa lilin dari rumah. Sebelum berdoa Delis memberitahu kami untuk saling bersentuhan. Lalu lutut kamu salking bersentuhan waktu berdoa. Gerimis datang menghampiri kami dengan suara guntur yang berteriak seakan menyuruh kami untuk pulang. Lalu aku menyalakan tiga lilin yang masing-masing aku letakan tepat dihadapan kami. Dengan lutut yang bersentuhan, kami memulai doa yang sudah kami rencanakan sejak awal, Bapa Kami 1x dan Salam Maria 3x. Gerimis yang datang lama-lama menjadi semakin deras disertai dengan angin. Aku mengamati lilin yang aku pasang tadi dan memandang wajah sahabatku yang ternyata sudah fokus memejamkan mata mereka untuk berbicara ddengan Bunda Maria. Lalu aku kembali ngengamati lilin didepanku. Hujan yang datang disertai dengan angin segera menghempas lilin yang kunyalakan tadi. Aku melihat sendiri, dengan mata kepalaku, bahwa lilin itu tidak goyang sama sekali, tegak, tenang seakan hujan dan angin pun bukan musuhnya lagi. Pohon bambu diatas gua maria seakan semakin ngeri saat angin lebat menghampasnya. Suaranya menjerit-jerit yang membuat orang tidak nyaman. Bagaimana tidak?, kami sedang berada di tengah-tengah persawahan yang rimbun oleh pohon dan jauh dari desa, tentu saja itu bukan hal yang bersahabat untuk kami. Lalu sesudah doa-doa itu selesai, memasuki doa permohonan bersama dan pribadi. Didoa permohonan ini, aku langsung mengambil inisiatif untuk membuat doa permohonan. Aku memohon agar Tuhan selalu melindungi kami, terutama saat ini saat dimana kami menjadi ngeri digua maria, dan memohon agar suara-suara ngeri itu hilang dan menjauh dari kami. Setelah doa itu saya ucapkan, suasana berubah drastis. Yang sebelumnya hujan menjadi terang benderang, yang tadinya berisik oleh angin, menjadi tenang sunyi. Bunda Maria saat itu memang hadir ditengah-tengah kami bertiga. Awan mendung yang sebelumnya menyelimuti langt, sekarang menjadi padang bulan, jalan menjadi kelihatan bahkan bintang indah bisa kami lihat.  Sesudah selesai semuanya, kami segera bergegas pulang. Aku tidak sabar mencaritakan yang kulihat tadi. Lalu sesudah keluar dari gua maria aku mulai menceritakan tadi.

“Kalian harus tau apa yang kulihat tadi!”
“Emang kamu tadi lihat apa Man?” Si Rita penasaran.
“Aku lihat perempuan di pendopo atas waktu kita masuk gua maria tadi”
“Terus, pas kita lagi berdoa tadi, aku lihat lilin yang aku nyalakan, ternyata gak mati saat ujan sama angin tadi dateng, Ajaib kan??” Jelasku kepada mereka.
“Waktu kita doa tadi, aku melihat sosok perempuan putih bersih dateng mengitari kita”
“Lalu aku bilang, selamat datang Bunda Maria, ikutlah berdoa dengan kami”.
“Aku tahun bahwa itu Engkau, Semoga Engkau melindungi kami di RumahMu.” Jelas Delis yang bikin kita merinding.
“Setelah aku biolang gitu, perempuan itu duduk dibelakang kita, Ia ikut berdoa bersama kita” Tambahnya.
Kami sampai desa 20 menit kemudian. Lalu kami berpisah diperempatan rumah kami. Setelah sampai dirumah 5 menit kemudian hujan deras pun kembali membasahi desa kami. Kami bersyukur karena kami sudah dilindungi sampai dirumah dengan selamat. Bunda Maria memang baik, hujan yang deras itu turun setelah kita sampai rumah. Seminggu kemudian kami Ujian Nasional. Dan saat pengumuman kami bertiga dinyatakan masuk 5 besar. Doa jika didoakan dengan sungguh-sungguh akan dikabulkan. Itu yang kami alami di gua maria pajar mataram, yaitu yang bertempat didesa Pajarmataram, kecamatan Seputih Mataram, kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

Post a Comment

 
Top